Kisah Warga Sipil di Kota yang Dikuasai Rusia

Kisah Warga Sipil di Kota yang Dikuasai Rusia

Independencechamber.org – Sebagian besar wilayah selatan Ukraina kini diduduki Rusia, termasuk Kota Melitopol dan Kherson, yang merupakan dua kota terbesar yang berhasil diduduki Rusia sejauh ini.

Namun setelah berminggu-minggu pendudukan itu, warga setempat tetap menentang Rusia. BBC berbicara dengan orang-orang di dua kota tersebut mengenai bagaimana rasanya hidup di bawah kendali Rusia.

Melitopol adalah sebuah kota kecil dengan populasi lebih dari 150.000. Sejumlah warga mengatakan kepada BBC bahwa pasukan Ukraina meninggalkan wilayah itu tanpa perlawanan. Sementara itu, pasukan Rusia datang dari arah Krimea, wilayah yang dicaplok Moskow dari Ukraina pada 2014.

“Mungkin itu adalah keputusan yang tepat,” kata seorang perempuan setelah mengamati apa yang terjadi di Mariupol dan Chernihiv.

Baca Juga:
Perundingan Rusia-Ukraina: Pesan Presiden Turki Erdogan Sebagai Tuan Rumah

Mariupol dan Chernihiv telah menjadi tempat pertempuran sengit dan pengeboman selama beberapa minggu terakhir. Jumlah warga sipil yang tewas di kota-kota ini kemungkinan sangat banyak.

“Rasanya kami seperti ditinggalkan untuk dicabik-cabik oleh monster,” ujar perempuan itu dengan getir.

Baca juga:

Kota Kherson dua kali lebih besar dibandingkan Melitopol, dengan total penduduk 290.000 jiwa. Seorang jurnalis lokal mengatakan kepada BBC bahwa pengambilalihan wilayah itu terjadi pada jam-jam awal perang dimulai.

Tidak ada perlawanan berarti dari tentara Ukraina terhadap tentara Rusia yang berupaya menduduki kota itu. Kherson dipertahankan oleh segelintir orang dari pasukan pertahanan teritorial, yang hanya dipersenjatai beberapa senapan Kalashnikov dan bom molotov.

Baca Juga:
Diduga Lakukan Pengintaian, Diplomat Rusia Diusir dari Sejumlah Negara Uni Eropa

“Rusia mendekat dengan tank dan kendaraan lapis baja. Mereka bisa saja meminta pasukan pertahanan teritorial untuk menyerah, tetapi Rusia malah menembaki mereka dengan senapan mesin berat,” kata wartawan tersebut.

“Mereka tidak membiarkan siapa pun mengevakuasi tubuh-tubuh para tentara pertahanan teritorial itu. Mereka ingin orang lain melihat itu dan ketakutan.”

Cerita jurnalis tersebut diperkuat oleh kesaksian lima warga Kherson lainnya yang berbicara dengan BBC, tetapi Kementerian Pertahanan Rusia tidak melaporkan adanya penembakan terhadap pasukan pertahanan teritorial selama upaya pengambilalihan kota tersebut.

Dalam 24 jam pertama setelah kedatangan tentara Rusia di Kherson, telah terjadi banyak penembakan.

“Kami diam di rumah, tetapi kami bisa mendengarkan tembakan yang riuh, di rumah-rumah, di pohon-pohon, dan di mobil-mobil,” kata seorang warga kepada kami.

Keesokan harinya, tentara Rusia datang ke pusat TV lokal dan memaksa para staf menayangkan saluran tv Rusia.

Seorang warga Kherson menjelaskan kepada BBC aturan dasar yang diberlakukan oleh Rusia.

Dia diberitahu bahwa bendera Ukraina tidak akan diturunkan dan kehidupan di Kherson “dapat berjalan normal selama beberapa aturan dipatuhi”.

“Kami harus siap mengizinkan tentara Rusia menggeledah kami,” ujar dia. “Mereka juga akan memeriksa ponsel kami, termasuk apa yang kami unggah di media sosial dan apa yang kami bicarakan lewat pesan pribadi.”

Apabila tentara tidak senang dengan apa yang mereka lihat, penduduk setempat mengatakan ponsel itu akan diambil.

Tidak lama kemudian, aksi unjuk rasa anti-Rusia mulai muncul. Penduduk Kherson mengatakan bahwa prajurit Rusia tampak terkejut dan sempat takut dengan aksi itu.

“Mereka mengerahkan tentara dan kendaraan lapis baja ke alun-alun kota, lalu berupaya membubarkan pengunjuk rasa dengan kendaraan itu, tetapi orang-orang tidak takut. Ini benar-benar membingungkan bagi Rusia,” kata seorang perempuan yang merupakan warga lokal kepada BBC.

Situasi berbeda terjadi di Melitopol. Dalam waktu singkat, tentara Rusia memukuli dan menahan para pengunjuk rasa.

Seorang warga bercerita kepada BBC bahwa tentara Rusia menargetkan para aktivis yang mengorganisir aksi protes itu, kemudian secara perlahan mereka pun menghilang.

“Awalnya kami berunjuk rasa setiap hari, tapi mereka menahan semakin banyak orang dan memukuli orang-orang dengan brutal.”

Salah satu aksi protes terbesar di Melitopol terjadi pada 11 Maret 2022, ketika Wali Kota Ivan Fedorov diculik oleh tentara Rusia.

Kemudian pada 14 Maret, aksi protes yang cukup besar kembali digelar, tetapi kali itu terasa berbeda. Orang-orang yang hadir pada aksi itu bercerita kepada BBC bahwa Rusia mengerahkan banyak kendaraan lapis baja dan lebih dari seratus tentara ke alun-alun. Para pengunjuk rasa bisa melihat para penembak jitu dengan senapan yang siaga.

Seorang perempuan yang juga hadir dalam aksi itu mengatakan bahwa tentara merecoki para pengunjuk rasa dan mengambil kartu identitas mereka.

“Mereka mengatakan kepada kami bahwa paspor kami adalah selembar kertas yang tidak berharga,” kata dia.

Sementara itu di Kherson, tentara Rusia akhirnya juga marah.

“Mereka melewati kerumunan pengunjuk rasa, memainkan musik yang sangat keras, berusaha mengalahkan suara lagu-lagu Ukraina yang kami nyanyikan,” kata seorang warga kepada BBC.

Ketegangan meningkat selama protes anti-Rusia digelar pada 21 Maret. Tentara Rusia lebih banyak melepaskan tembakan, sehingga satu warga sipil terluka. Setelah peristiwa itu, para warga Kherson mengatakan koneksi internet di sana memburuk.

BBC menanyakan Kementerian Pertahanan Rusia mengenai penembakan di Kherson, namun belum menerima jawaban dan belum ada komentar dari pihak berwenang Rusia.

Sementara itu, orang-orang di Melitopol melaporkan bahwa kekerasan terus meningkat.

Seorang perempuan mengatakan kepada BBC bahwa dia menyaksikan tentara Rusia menangkap sepasang remaja yang melilitkan bendera biru-kuning Ukraina.

“Remaja laki-laki dan perempuan itu usianya tidak mungkin lebih dari 17 tahun,” kata dia.

“Saya mengatakan kepada tentara Rusia, ‘Apa yang kamu lakukan? Mereka anak-anak!’ Lalu kedua remaja itu berteriak ‘kemenangan bagi Ukraina!’ Sedangkan tentara mengatakan, ‘Ini Rusia.’ Tentara kemudian memukuli bocah itu, saya mengambil benderanya dan melilitkannya ke tubuh saya.”

Perempuan itu menolak melepaskan bendera Ukraina meski diancam tentara Rusia.

“Mereka menakut-nakuti saya, mengatakan apa yang akan mereka lakukan kepada saya. Saya mengatakan, ‘saya tidak peduli’.”

Pada 16 Maret, Wali Kota Melitopol dibebaskan setelah ditukar dengan sembilan tentara Rusia yang ditawan Ukraina. Setelah itu, situasi tidak memungkinkan untuk berunjuk rasa.

“Mungkin seperti inilah kehidupan di Moskow,” kata seorang perempuan Melitopol kepada BBC.

“Begitu kami mencoba berkumpul di suatu tempat, banyak tentara muncul dan membubarkan kami.”

Seorang warga Melitopol memberi tahu kami bahwa orang-orang mulai mengorganisir aksi unjuk rasa melalui Zoom demi kebersamaan.

Sedangkan di Kherson, tentara Rusia menggerebek rumah polisi Ukraina, anggota pasukan pertahanan teritorial, jurnalis, hingga aktivis sipil.

Beberapa orang mengatakan bahwa penggeledahan sering kali disertai kekerasan karena prajurit Rusia mendobrak pintu dan memaksa masuk ke rumah warga.

Seorang warga bercerita kepada kami bahwa wastafel kamar mandi dan kloset mereka sampai pecah.

Baca juga:

Penduduk setempat lainnya menduga bahwa pasukan Rusia berharap Kherson akan mudah dikendalikan, mengingat kota ini didominasi penutur bahasa Rusia.

“Propaganda Rusia cenderung mengklaim bahwa Kherson adalah kota di mana Rusia mendapat banyak dukungan. Tapi kenyataannya berbeda.”

Pasukan Rusia mencoba memenangkan hati penduduk Kherson dengan membagikan paket makanan.

Menurut penduduk setempat, beberapa orang terutama tunawisma atau yang berpenghasilan sangat rendah menerimanya.

“Orang-orang Rusia kemudian memfilmkan mereka dan meminta mereka mengungkapkan rasa syukur di depan kamera.”

Siapa pun yang berada di Kherson tidak dimungkinkan untuk pergi ke wilayah yang dikendalikan oleh Ukraina, tetapi tentara Rusia menyediakan bus yang bisa membawa mereka ke Krimea, wilayah yang dicaplok oleh Rusia.

Penduduk lokal yang berbincang dengan BBC meyakini bahwa pendudukan Rusia tidak akan bertahan lama dan tentara Ukraina akan segera merebut kembali kota itu.

“Kami khawatir pertempuran akan memburuk dan Rusia memasang ranjau di semua jalan menuju kota itu seperti yang mereka lakukan di sekitar Mykolaiv.”

“Tapi kami siap menghadapi apa pun. Kami akan bersembunyi dan bertahan dengan apa pun, demi menyingkirkan pendudukan ini,” ujar warga itu.

Kementerian Pertahanan Rusia belum mengomentari tuduhan bahwa tentara Rusia secara ekstensif memasang ranjau di wilayah sipil Ukraina.

Di Melitopol, para warga yang kami ajak bicara juga mengutarakan penentangan yang sama.

Seorang perempuan mengatakan bahwa nenek buyutnya pernah dituduh sebagai seorang kulak –petani kaya– oleh kaum Bolshevik pada 1920-an dan diancam akan ditangkap hingga dideportasi.

“Dia membakar penggilingan dan rumahnya, lalu pindah ke gudang demi bertahan di Tanah Airnya,” kata perempuan itu. “Aku bisa melakukan hal yang sama, aku tidak akan pergi kemana-mana.”



#Kisah #Warga #Sipil #Kota #yang #Dikuasai #Rusia

Sumber : www.suara.com

Related posts