Stok Obat Cukup, Pengusaha Farmasi Siap Hadapi Gelombang 3 Covid

Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Indonesia mengatakan industri obat dalam negeri sudah siap menghadapi gelombang 3 covid-19. Kesiapan mereka sampaikan karena persediaan obat pasien covid-19 sudah terjamin cukup dan bahkan berlebih.

Persediaan obat itu adalah, Vitamin C,D,E Zinc sebanyak 147 juta tablet, Antivirus Favirpiravir 91 juta, Azithroycin 11 juta, Remdesivir Inj 403 ribu vial dan Tocilizumab 26 ribu tablet.

“Tidak usah ragu dan tidak usah takut, seluruh anggota GP farmasi siap baik memproduksi maupun mendistribusikan, ujar Tirto Kusnadi, selaku Ketua Umum GP Farmasi Indonesia dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR, Rabu (2/2).

Tirto mengaku meskipun pada gelombang satu dan dua covid-19 di Indonesia, GP Farmasi Indonesia mengalami kesulitan menyediakan stok obat karena melonjaknya jumlah permintaan 4 sampai 5 kali lipat, ia memastikan kali ini situasinya sudah berbeda dan aman.

Sudah terdapat beberapa perusahaan yang siap memproduksi obat covid-19.

“Kita terus konsolidasi seluruh anggota KB Farmasi mempersiapkan seluruh kebutuhan seperti Favipiravir, Remdesivir, Heparin Inj, Fondaparinux dan Atracurium, hampir semua kebutuhan paracetamol dan sebagainya sudah tersedia cukup. Dan penyedianya bukan cuma satu atau dua perusahaan tapi bisa dilihat ada beberapa perusahaan,” ujar Tirto.

Berdasarkan laporan GP Farmasi Indonesia, terdapat 9 perusahaan penyedia Favipiravir (obat antivirus), 6 perusahaan penyedia Remdesivir, 7 perusahaan penyedia obat Paracetamol dan yang paling banyak, terdapat 10 perusahaan penyedia Azithromycin yang termasuk obat standar yang dibutuhkan pasien covid-19.

“Tidak usah ragu dan tidak usah takut, seluruh anggota GP farmasi siap baik memproduksi maupun mendistribusikan,” tegas Tirto.

Meski demikian, Tirto mengakui saat ini ada masalah yang dihadapi GP Farmasi. Masalah berkaitan dengan desakan untuk menyediakan obat covid-19 impor yang disarankan WHO (World Health Organization).

Pasalnya, obat masih di bawah paten perusahaan asing. Paten itu membuat distribusi obat yang disarankan WHO masih dimonopoli oleh industri asing.

“Tapi kalau yang obat ini sudah off paten saya kira anggota kami di bidang industri begitu cepat untuk bisa membuat copy,” jelas Tirto.

Dilansir dari laman: cnnindonesia.com

Related posts